Selasa, 31 Juli 2012

tugas oleh agus winarto


Oleh agus winarto[1] 

 Pengantar

 Zaman ini zaman edan. Zaman yang gila-gilaan. Ada berbagai macam cara untuk menindas sesama manusia. Tidak hanya melalui kekerasan langsung, kadangkala melalui tindakan yang nyaris tak kelihatan. Sistem ekonomi dibuat sedemikian rupa agar kaum tak bermodal dan negara-negara berkembang hanya gigit jari. Negara kaya berusaha nyaris bak malaikat membuat sistem ekonomi yang sejatinya mengandung penjajahan tersembunyi. Itulah kolonialisme baru yang sedang menghantam negara-negara berkembang.

Era kiwari adalah era globalisasi penuh tawaran mengagumkan sekaligus gombal dan manipulasi. Globalisasi menawarkan kemudahan aksesbilitas sekaligus jurang yang menghancurkan. Globalisasi setali mata uang dengan neoliberalisme. Dampaknya sangat fatal. Seraya mengutip Pierre Bourdieu, Bob Sugeng Hadiwinata memaparkan bencana yang ditimbulkan globalisasi yang mengandung gagasan neoliberalisme. Pertama, fatalisme ekonomi: masyarakat membiarkan diri terseret arus globalisasi. Kedua, penghancuran konsep negara kesejahteraan akibat gelombang privatisasi. Ketiga, melebarnya kesenjangan kaya-miskin. Keempat, privatisasi pendidikan dan kesehatan cenderung meningkatkan biaya sehingga mendiskriminasikan kaum miskin. Kelima, terjadinya kerusakan lingkungan karena eksploitasi yang berlebihan. Keenam, institusionalisasi rasa tidak aman bagi kaum pekerja akibat dominasi sektor bisnis. [2]



Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997. Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. IMF adalah aktor neoliberalisme. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, di antaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.[3]

Dalam tulisan ini, saya ingin menampilkan bahwa perlu mewaspadai prinsip ekonomi a la neoliberalisme yang telah menjadi standar kebijakan ekonomi “Barat” yang diam-diam diterapkan kepada negara-negara berkembang. Ada banyak kaum intelektual negara-negara berkembang yang mengagumkannya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka ini adalah perpanjangan tangan “Barat” untuk menerapkan paham neoliberalisme di negara mereka masing-masing. Prinsip neoliberalisme seolah-olah mencerahkan tetapi sebenarnya tidak. Untuk konteks Indonesia, menganggap benar prinsip neoliberalisme sama halnya mengatakan bahwa manusia tak mati jika minum racun. Inilah sikap bodoh yang menggali kubur sendiri. Neoliberalisme tidak mau peduli dengan nasib kaum miskin. Neoliberalisme hanya mempedulikan berjalannya mekanisme dan persaingan pasar. Mereka tidak mau peduli siapa yang akan babak belur di atas arena pertarungan pasar itu.


Neliberalisme: Rahmat atau Petaka?

Neoliberalisme adalah kata lain dari “liberalisme baru”. Neoliberalisme merupakan pendukung pasar bebas (free trade), ekspansi modal dan globalisasi.[4] Yang mencemaskan dari neoliberalisme adalah gebrakan mereka agar negara mengurangi secara signifikan campur tangannya (deregulasi dan debirokratisasi) dalam aktivitas ekonomi masyarakat. Aktivitas ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar, karena pasar mengajarkan orang untuk berpikir rasional dengan menggunakan kalkulasi untung-rugi.[5] Di sinilah terjadi bahwa neoliberalisme merupakan rahmat bagi kaum kaya  dan petaka bagi yang miskin. Kita tahu, tidak mungkin kaum miskin mampu menandingi kaum kaya dalam arena persaingan. Kaum miskin sudah pasti pihak yang kalah dan kaum kaya sudah pasti pihak yang menang. Tidak terjadi persaingan, yang terjadi adalah pengeliminasian kaum miskin.

Bagi pelaku neoliberalisme, yang tidak mampu bersaing secara bebas di lapangan pasar, maka harus merelakan diri untuk digusur dari ajang kompetisi. Akibat fatalnya, perekonomian akan dikuasai oleh mereka yang mampu berperilaku efisien, inovatif, memiliki akses teknologi dan modal, dan mampu berperan sebagai penentu harga. Sementara orang miskin hanya gigit jari, mereka siap-siap semakin miskin. Orang miskin hanya sebagai penonton, pemanggul petaka, buruh murahan, manusia terbuang, outcast! Itu sebabnya bagi Bob Sugeng Hadiwinata dengan merujuk pada gagasan Bourdieu, neoliberalisme melanggar prinsip keadilan (fairness). Bob mengusulkan sistem perekonomian yang lebih baik, yakni  perdangan yang adil (fair trade).  Dalam arti, para pelaku pasar tidak hanya memperhatikan keuntungannya tetapi juga peka melihat situasi sosial, mereka perlu memperhatikan negara berkembang dan kaum miskin, kaum buruh, kaum marginal. Yang lebih penting bukan gagasan ‘free trade’ tetapi ‘fair trade’. [6]

Mekanisme pasar yang ditawarkan kaum neoliberalisme melanggar prinsip keadilan dari John Rawls. Bagi Rawls, dalam kegiatan sosial-ekonomi mesti diperhatikan pula kesejahteraan mereka yang mendapat keuntungan paling sedikit (“the least-advantaged members of society”). Ketika membuka kesempatan yang sama kepada anggota masyarakat untuk bersaing di pasar, pelaku ekonomi mestinya memperhatikan siapa yang sudah pasti kalah bersaing. Orang tak punya modal pastilah kalah dalam arena persaingan pasar. Di sini tidak terjadi fairness (keadilan). Fairness hanya terjadi jika memperhatikan kaum tak bermodal itu. Bagi Rawls mesti ada prinsip “fair equality of opportunity” . [7]

B. Herry Priyono melihat secara lain neoliberalisme. Ia memilah-milah, tidak memandang semua kegiatan ekonomi pasar menerapkan prinsip neoliberalime. Menurutnya istilah neoliberalisme  sering disalah-artikan. Misalnya, ada sebagian yang menganggap bahwa ekonomi pasar identik dengan neoliberalisme. Bagi B. Herry Priyono, neoliberalisme memang melibatkan aplikasi ekonomi pasar, tetapi tidak semua ekonomi pasar bersifat neoliberal. Ekonomi pasar sosial tidak selalu bersifat neoliberal.[8]

 Awalan neo (baru) pada istilah neoliberalisme menunjuk pada gejala yang mirip dengan tata ekonomi 30 tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang ditandai dominasi financial capital dalam proses ekonomi. Namun, yang terjadi dalam 30 tahun terakhir tersebut (akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20) bercorak lebih ekstrem dan gejala ini berlangsung dengan berakhirnya era besar yang disebut embedded lberalism. Embedded liberalisme merupakan model ekonomi setelah Perang Dunia II hingga dekade 1970-an yang intinya: kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara penanam modal dan tenaga kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital.[9] Dengan kata lain, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja pemodal dari kawalan, tetapi dalam bentuk yang lebih ekstrem. Neoliberalisme kadangkala dianggap sebagai cara para tuan besar pemodal untuk merebut kembali kekuasaan, sesudah mereka terkekang dalam periode setelah Perang Dunia II sampai dasawarsa 1970-an.

Neoliberalisme merupakan sebuah fenomena sosial-politik yang biasanya dialamatkan kepada sekelompok penguasa dan intelektual di Barat yang mendukung dan ingin menghidupkan kembali gagasan-gagasan liberalisme klasik.   Intelektual yang mau menghidupkan kembali liberalisme klasik (tetapi dengan cara “mencampur”) adalah ekonom Inggris (abad 20), John Maynard Keynes, yang kemudian teorinya disebut Keynesian. Teori ekonomi a la Keynesian adalah mempromosikan suatu ekonomi campuran, yakni baik negara (pemerintah) maupun sektor swasta memegang peranan penting dalam kegiatan ekonomi. Padahal, kaum neoliberalisme anti-pemerintah, antinegara, anti aturan. Tetapi ada yang mesti diperhatikan di sini: REAGANOMICS dan Thatcherisme juga sebenarnya beralirasn leberalisme klasik, tetapi toh tidak dianggap sebagai ancaman neoliberalisme.  Malahan kedua paham ini dianggap sebagai salah satu tulang punggung munculnya neoliberalisme, karena memang kedua paham ini anti-negara, anti-pemerintah. Itulah sebabya juga B. Herry Priyono agak kesulitan mendefenisikan apa itu neoliberalisme. [10] Dalam tulisan ini, kita sepakat saja bahwa ciri utama neoliberalisme adalah peniadaan campur tangan pemerintah dalam aktivitas ekonomi. Dengan demikian, regulasi perekonomian diserahkan kepada otoritas pasar bebas. Akibatnya, legislator bukan lagi lembaga legislatif melainkan para pemilik modal.

Dalam penelusuran Bob Sugeng Hadiwinata, neoliberalisme sejatinya dikampanyekan secara gencar oleh negara-negara Barat dan berbagai lembaga ekonomi dan keuangan internasional sejak akhir Perang Dunia II. Kampanye gombal mereka berhasil: neoliberalisme menjadi norma dasar perekonomian.[11]

 Latar Belakang Munculnya Neoliberalisme [12]

Ada klaim bahwa awal munculnya neoliberalisme dilatar-belakangi oleh hancurnya “liberalisme”. Padahal bisa jadi hal ini hanya salah satu faktor saja. Liberalisme dianggap gagal karena ternyata belum juga berhasil mengentaskan kemiskinan umat manusia. Seiring dengan hancurnya liberalisme, pada tahun 1973 terjadi krisis minyak: mayoritas negara penghasil minyak Timur Tengah (TT) melakukan embargo terhadap As dan sekutunya; serta melipat-gandakan harga minyak dunia. Hal ini dilakukan oleh TT sebagai bukti “reaksi” mereka terhadap AS yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur.[13] Keputusan TT ini ditanggapi serius oleh para elit politik negara-negara sekutu AS dan mereka pun saling berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis, beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Pada situasi inilah ide-ide libertarian sebagai wacana menjadi dominan, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga ditingkat global di IMF dan World Bank (WB), dan WTO.  Banyak yang menduga bahwa IMF, World Bank dan WTO adalah pendukung neoliberalisme. Kedua lembaga ini merupakan penyebab suburnya neoliberalisme. Lembaga-lembaga ini memiliki kesempatan besar untuk memaksa negara-negara berkembang (miskin) untuk mengambil dan menjalankan kebijakan neoliberalisme dalam tataran pasar bebas dengan istilah kren demi “structural adjustment” (penyesuaian struktural). Ujung-ujungnya adalah banyak negara berkembang yang justru semakin banyak hutangnya.

Pada tahun 1975-80an, di AS, Robert Nozick mengeluarkan tulisan berjudul “Anarchy, State, and Utopia”, yang dengan cerdas menyatakan kembali posisi kaum ultra minimalis, ultra libertarian sebagai retorika dari lembaga pengkajian universitas, yang kemudian disebut dengan istilah: REAGANOMICS; dan di Inggris, Keith Joseph menjadi penggagas “Thatcherisme”.[14]

Reaganomics atau Reaganisme menyebarkan retorika kebebasan yang dikaitkan dengan pemikiran John Locke[15], sedangkan Thatcherisme dikaitkan dengan pemikiran liberal John S. Mill dan A. Smith. Walaupun Locke dan Mill serta Smith sedikit berbeda, tetapi kesimpulan akhirnya tetap bermuara pada intervensi negara harus berkurang sehingga individu lebih bebas berusaha. Pemahaman inilah yang kemudian di sebut: NEOLIBERALISME.

Paham ekonomi neoliberal ini, di kemudian hari dikembangkan oleh Milton Friedman. Menurut Milton Friedman, prinsip utama bisnis ekonomi adalah mencari keuntungan. Menurutnya, tugas dari pebisnis adalah mencari uang/keuntungan (“the business/task of businessman is business/making money”). Hanya dengan cara ini, suatu perusahaan akan bertahan dan bisa menghidupi para karyawannya serta CEO-nya. Tetapi, gagasan ini, kemudian banyak ditentang, karena bisnis tidak semata-mata hanya mencari keuntungan tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial: memelihara sumber daya alam dan juga memperhatikan lingkungan sosial bisnis, serta ikut andil mengentaskan pengangguran serta kemiskinan.

Visi Neoliberalisme

 Walaupun neoliberalisme selalu dikaitkan dengan ekonomi, namun sebenarnya neoliberalisme bukan hanya sekedar ekonomi. Neoliberalisme bervisi tentang manusia dan masyarakat dengan cara pikir ekonomi yang khas sebagai perangkat utama. Visi neoliberalisme tersebut dapat kita lihat dalam uraian berikut:

 Pertama, Visi Antropologis [16]

Neoliberalisme berkembang melalui reduksi manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Yang menarik dari visi neoliberal adalah pengandaian manusia sebagai homo oeconomicus direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia: menjadi prinsip pengorganisasian seluruh masyarakat. Hal itu secara eksplisit diungkapkan Gary Becker dalam karyanya yang berjudul “The Economic Approach to Human Behavior (1976): pendekatan ekonomi menyediakan kerangka semesta untuk memahami semua tingkah laku manusia.

Kedua, virtualisasi Ekonomi

Awal tahun 1980-an terjadi evolusi berpikir: perspektif oeconomicus tidak hanya direntang untuk diterapkan pada dimensi hidup manusia, tetapi dalam perspektif oeconomicus sendiri berkembang hierarkhi prioritas: sektor finansial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi. Hasilnya adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, dsb. Tren ini lalu mempertajam pembedaan antara sektor virtual dan sektor riil dalam ekonomi dengan prioritas yang pertama. Jadi, proses ekonomi bergerak dengan prioritas transaksi uang ketimbang produksi barang/jasa riil.

Gagasan Filosofis (Konsep) Neoliberalisme

Pertama, menginginkan sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad ke-19

Kapitalisme abad ke-19 menghargai kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan pemerintah sangat sedikit dalam urusan kehidupan ekonomi. Yang menjadi penentu utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar bukan pemerintah.[17] Gagasan ini barangkali masih dipengaruhi oleh gagasan John Locke (abad 18) yang mengatakan bahwa kaum liberal adalah orang-orang yang memiliki hak untuk hidup, merdeka, sejahtera, bebas bekerja, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun. Pada zaman kapitalisme abad ke-19 ini, orang bebas diartikan sebagai seseorang yang memiliki hak-hak dan mampu menggunakannya dengan memperkecil campur tangan pihak lain (aturan pihak lain): kita berhak menjalankan kehidupan sendiri.[18]

Kedua, mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas: pasar yang berkuasa

Untuk mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas, kaum neoliberalisme selalu mengusung “kebebasan” dan tidak adanya hambatan buatan yang diterapkan pemerintah. Oleh karena itu, perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu pada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau tanpa hambatan perdagangan lainnya (tanpa regulasi legal). Bentuk-bentuk hambatan perdagangan yang ditolak kaum neoliberalisme (dalam perdagangan bebas): bea cukai, kuota, subsidi yang dihasilkan dari pajak sebagai bantuan pemerintah untuk produsen lokal, peraturan administrasi dan peraturan anti-dumping. Menurut kaum neoliberalisme pihak yang diuntungkan dari adanya hambatan perdagangan adalah produsen dan pemerintah.[19]

Ketiga, menolak (mengurangi) campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik

Gagasan ini terfokus pada metode pasar bebas, pembatasan campur tangan pemerintah yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi. Gagasan ini sebenarnya tidak sehat. Kaum kaya semakin kaya dan kaum miskin semakin miskin. Seharusnya yang lebih penting adalah keadilan perdagangan (fair trade) bukan perdagangan bebas (free trade).[20]

Keempat, memangkas anggaran publik untuk layanan sosial

Kurangi anggaran sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih, karena semuanya itu adalah bantuan dari pemerintah. Seandainya hal ini berkurang berarti peran pemerintah juga berkurang. Kelima, deregulasi: hambatan dan hukum perdagangan harus dihapus. Keenam, privatisasi: aktivitas ekonomi harus dikelola oleh swasta (non-pemerintah). Ketujuh, mengenyahkan konsep “the public good”: mengurangi tanggung jawab bersama dan menggantikannya dengan “kewajiban individu”.[21]

 Liberalisme dan Neoliberalisme[22]

a. Perbedaan
Liberalisme


 
manusia dianggap sebagai: homo oeconomicus;
manusia adalah otonom, bebas memilih;
wacana politik: sosial demokrat dengan argumen, “kesejahteraan”;
Meletakkan kebebasan sebagai nilai politik tertinggi;
Masih mengakui peran kerajaan/pemerintah. Dalam arti sistem kerajaan harus melindungi hak-hak semua rakyat secara adil, bijak dan seksama;
Masih mengakui undang-undang kerajaan (pemerintah). Artinya semua rakyat mempunyai hak-hak yang sama rata di depan hukum dan undang-undang;
Menghendaki peran serta kerajaan dalam pasar bebas. Menjaga agar tidak terjadi diskriminasi, pemerikasaan barang-barang impor-ekspor harus dilakukan secara hikmat.


Neoliberalisme


 
homo oeconomicus dijadikan prinsip untuk memahami semua “tingkah laku manusia”;
hal ini dimodifikasi ke arah yang lebih ekstrem: tidak perlu adanya campur tangan pemerintah, batas negara diterobos;
wacana politik: sosial ekonomis kapitalis dengan argumen “privatisasi aktivitas ekonomi”;
Meletakkan kebebasan dalam tataran ekonomi, pasar bebas, globalisme;
Lebih ekstrem: sama sekali menolak campur tangan pemerintah, bahkan mereka menghendaki segala macam fasilitas umum seharusnya di swastanisasikan/diprivatisasikan;
Sistem aturan, undang-undang/hukum, ditolak sama sekali, karena hal ini akan menguntungkan pemerintah dan stakeholders lainnya;
Tidak menghendaki peran pemerintah dalam pasar bebas. Sehingga peluang akan adanya diskriminasi “terselubung” sangat tinggi (yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin).

b. Persamaan
sama-sama mengutamakan hak-hak individu/pribadi;
sama-sama menghendaki dibatasinya kekuasaan pemerintah/kerajaan, kedaulatan undang-undang ;
kebebaasan untuk menjalankan perusahaan pribadi tanpa adanya aturan;
administratif yang menghambat aktivitas individu dalam mensejahterakan dirinya.
sama-sama menolak kekuasaan yang otoriter yang mengekang individu;
Desentralisasi;
dst.



Dampak neoliberalisme [23]

Pertama, Industri lokal akan mati. Hambatan perdagangan dibuat dengan tujuan antara lain untuk melindungi industri dan tenaga kerja lokal. Dengan ditiadakannya hambatan perdagangan (deregulasi), maka harga produk dan jasa dari luar negeri akan menurun dan permintaan untuk produk dan jasa lokal akan berkurang. Hal ini mengakibatkan matinya industri lokal perlahan-lahan.

Kedua, Pekerja (karyawan) tidak mendapat perlindungan dari negara. Dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur tangan dalam penentuan gaji para pekerja (karyawan). Menurut kaum neoliberal, hal ini merupakan urusan antara pengusaha pemilik modal dan para pekerja (karyawan). Apa akibat dari kebijakan semacam ini? Akibatnya adalah hak-hak pekerja tidak lagi mendapatkan perlindungan dari negara. Pengaturan upah, misalnya, sepenuhnya menjadi kewenangan pengusaha. Masalahnya, apakah pengusaha tidak menindas atau memberi gaji yang layak para pekerja?

Ketiga, Privatisasi aktivitas ekonomi . Privatisasi (istilah lain: denasionalisasi, swastanisasi) adalah proses pengalihan kepemilikan dari milik umum menjadi milik pribadi atau dari milik negara menjadi milik swasta . Dalam arti aktivitas ekonomi harus dikelola oleh swasta. Secara teori, privatisasi aktivitas ekonomi, membantu terbentuknya pasar bebas (neoliberalisme), mengembangkan kompetisi kapitalis (padahal yang lebih penting adalah coopetetition dan fair trade), yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga lebih kompetitif kepada publik. Tetapi teori semacam ini berakibat negatif, karena layanan publik diberikan ke sektor privat (swasta) yang justru akan menghilangkan kontrol publik dan pemerintah sehingga mengakibatkan kualitas layanan yang buruk.

Keempat, Konsumen tak terlindungi dari produk-produk yang tak layak dikonsumsi. Contoh: produk-produk yang telah diubah secara genetika.Bisa terjadi pemalsuan produk. Kelima, Bergesernya manajemen ekonomi. Ekonomi berbasis persediaan menjadi berbasis permintaan. Artinya negara berkembang yang tadinya kaya akan SDM, sekarang malah menjadi tidak menikmati SDM tersebut karena telah “dirampas dan dikuasai”oleh pemodal. Negara berkembang menjadi negara pengemis atas hasil tanahnya sendiri. Perekonomian dengan inflasi dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah; karena bagi neoliberalisme, penganggur adalah orang-orang yang kalah dalam persaingan.

Keenam, Masalah ekonomi adalah soal “komoditi”. Kaum neoliberalisme melihat bahwa seluruh kehidupan adalah sumber laba korporasi perusahaan. Contoh: air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Jadi, dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas semata.

Ketujuh, Semua pemikiran di luar rel pasar dianggap salah. Salah satu kelebihan neoliberalisme adalah menawarkan pemikiran politik yang sederhana, sehingga pada titik tertentu tidak lagi mempunyai makna selain apa yang dilakukan oleh pasar dan pengusaha. Bagi kaum neoliberalisme, politik adalah keputusan-keptusan yang menawarkan nilai-nilai dan hanya satu cara yang rasional untuk mengukur nilai yakni pasar. Selain itu, wilayah politik dianggap sebagai tempat pasar berkuasa dan konsep globalisasi (perdagangan bebas) dijadikan cara untuk perluasan pasar melaui WTO, sehingga neoliberalisme yang “kapitalisme” dianggap sebagai neo-imperialisme. Kedelapan, Semakin lebar jurang antara si kaya dan si miskin.

Kritik terhadap Neoliberalisme[24]

Neoliberalisme dianggap sebagai globalisme yang tak bertanggungjawab terjadap nasib rakyat jelata, rakyat miskin. Neoliberalisme adalah neo-imperialisme, neo-kolonialisme. Mengapa? Karena justru neoliberalisme inilah yang membuka kesempatan bagi kaum kaya untuk mengeksploitasi negara-negara berkembang secara “halus” namun sangat menyayat. Hasil kebijakan IMF misalnya justru memperkeruh situasi Indonesia dengan menenggelamkan Indonesia dalam suasana hutang luar biasa. Itu tidak lain adalah hasil desain IMF yang notebene salah satu lembaga aktor neoliberalisme yang berada di belakang meja. Neoliberalisme tidak menghadirkan keadilan dalam masyarakat. Yang timbul hanyalah kesenjangan sosial. Bagi Rawls, kesenjangan sosial kaya-miskin itu bisa diatasi jika selalu berpedoman pada keadilan sebagai “fairness.” Dalam arti, yang lebih penting adalah “fair trade” (perdagangan yang adil) dan bukan “free trade” (perdagangan bebas). Dalam “fair trade”, pelaku ekonomi perlu “menolong” mereka yang tak punya modal sehingga mereka juga menikmati keuntungan demi memenuhi kebutuhan hidup mereka sebagai manusia.[25]

Ignatius Wibowo mencermati gelombang neoliberalisme yang semakin ekstrem. Seiring mencermati, beliau juga mencoba melihat tokoh yang mau menyempurnakan neoliberalisme menjadi lebih “manusiawi”. Tokoh yang ia anggap relevan sebagai pengkritik neoliberalisme (demi kesempurnaan) adalah Jeffrey Sachs yang menulis buku: The End of Proverty (2005). Setelah I. Wibowo meneropong buku tersebut ternyata fokus Sachs adalah orang-orang miskin yang selama ini “dibiarkan” oleh kaum neoliberalisme. Menurut Sachs, penyebab kemiskinan adalah karena tiadanya: human capital (SDM), bussiness capital, infrastructure, natural capital (SDA), public institutional capital, dan knowledge capital. Untuk keluar dari kemiskinan tidak mungkin dilakukan hanya karena kekuatan sendiri dan orang menjadi miskin bukan semata-mata karena gagal dalam pasar global. Konsep ini bertolak belakang dengan gagasan neoliberalisme.

Jalan keluar yang ditawarkan oleh Sachs agar orang miskin dapat keluar dari kemiskinannya adalah dengan menggunakan model “clinical economics”. Artinya, penyebab kemiskinan harus dilihat dari berbagai faktor: penyakit, cuaca buruk, lingkungan yang hancur, isolasi fisik, dll. Setelah dideteksi semua “penyebab” kemiskinan ini, barulah dicek mana yang lebih urgen ditangani (diobati). Dari perspektif semacam ini, tentu untuk mengatasi kemiskinan tidaklah mungkin hanya memakai satu obat saja berupa pasar bebas (yang bersifat deregulasi). Kemiskinan hanya bisa diatasi jika ditangani secara langsung, memberi bantuan langsung. Ide Sachs ini tidak dapat disimpulkan sebagai ide yang justru menciptakan ketergantungan. Ia memang sangat setuju bahwa lebih baik memberi kail daripada memberi ikan. Hanya saja ia juga mengoreksi pola pikir semacam ini: bagaimana orang miskin bisa memancing jika mereka lapar. Berilah mereka makan agar mereka bisa berdiri memancing. Orang miskin harus dibantu untuk menjejakkan kaki (to jump start).

Itu sebabnya Sachs selalu menuntut agar negara-negara maju dan kaya menyediakan bantuan untuk membantu negara-negara miskin.[26] Hanya saja bantuan yang dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan harus jelas. Bantuan yang dibagikan kepada sektor publik itu diarahkan untuk: 1) modal manusia/human capital (kesehatan, pendidikan dan nutrisi); 2) infrastruktur (jalan, listrik, air, dan sanitas serta perlindungan lingkungan; 3) natural capital/modal alami (pemeliharaan keragaman hayati serta ekosistem; 4) modal lembaga publik (administrasi publik yang dikelola baik, sistem penhadilan dan polisi) dan 5) modal pengetahuan (penelitian ilmiah untuk kesehatan, energi, pertanian, cuaca, dan ekologi).

Pendeknya, sektor publik harus tetap ada untuk menjalankan kegiatan yang terfokus pada investasi untuk sekolah, klinik, jalan, riset. Dengan pola pikir semacam ini, Sachs mengkritik dan juga keluar dari jalur neoliberal yang sangat anti pada negara. Sachs tidak menyerahkan urusan pengentasan kemiskinan hanya kepada invisible hand atau sistem pasar. Anehnya, Sachs tidak anti-neoliberalisme (tidak antiglobalisasi) karena baginya globalisasi (dan neoliberalisme) sudah bagus, namun yang perlu dibenahi adalah kebijakan publik negara-negara juga campur tangan pemerintah perlu (jangan ditiadakan, sektor publik perlu jangan hanya sektor privat).

Catatan Kaki:

[1] Postinus Gulö, adalah lulusan sarjana filsafat (S-1) di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung; sekarang mahasiswa Magister Ilmu Teologi (S-2) di Universitas Katolik Parahyangan. Tulisan ini terakhir direvisi tanggal 9 Juni 2010.  Tulisan ini pertama kali dipublikasikan 4  Maret 2008 di blog ini.

[2] Lihat Bob Sugeng Hadiwinata, “Bourdieu, Neoliberalisme, Intelektual dan Gerakan Sosial Global” dalam MELINTAS , Volume 22 No. 1, April 2006-Juli 2006, hlm. 475.

[3] www.wikipedia.com, diakses 2 April 2010.

[4] Lihat tulisan Luthfi Assyaukanie tentang Fundamentalisme dan Neoliberalisme dalam situs: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1141.

[5] Bob Sugeng Hadiwinata, Op. Cit., hlm. 475.

[6] Bob Sugeng Hadiwinata, Ibid., hlm. 475-481. Perlu dibaca juga John Rawls, Teori Keadilan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 12-24 dan hlm. 334-374.

[7] John Rawls, Justice As Fairness: A Restatement (London: Harvard University Press, 2001), hlm. 42-45.

[8] Lihat B. Herry Priyono, Neoliberalisme, http: //www.duniaesai.com/filsafat/Fil44.htm.

[9] B. Herry Priyono, Ibid.

[10] Ibid. 

[11] Lihat Bob Sugeng Hadiwinata, Op.Cit., hlm. 475.

[12] Lihat Ari Yurino dalam situs http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=410

[13] Bdk. www.wikipedia.neoliberalisme.com, diakses 28 Maret 2010. Perang Yom Kippur dikenal dengan nama Perang Ramadhan atau Perang Oktober, karena perang ini terjadi pada 6-26 Oktober 1973 antara pasukan Israel melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah. Perang ini merupakan kelanjutan dari perang enam hari yang terjadi pada tahun 1967 antara Israel melawan gabungan tiga negara Arab (Mesir, Yordania dan Suriah). Ketiga negara ini mendapat bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan, dan Aljazair. Pemicu perang ini adalah “ketidakpuasan” orang Arab atas kekalahannya dalam Perang Arab-Israel pada tahun 1948 dan 1957. Arab tetap tidak mengakui keberadaan Israel dan Arab menyerukan penghancuran negara Yahudi.

[14] Reaganomics diambil dari nama Ronald Reagan (AS), sedangkan Thactherisme diambil dari nama Margaret Thatcher (Inggris). Mereka adalah pemimpin negara maju yang menjadi pengkut neoliberalisme. Mereka mempropagandakan kebebasan individu dan kompetisi yang bebas dimplementasikan dan disebarluaskan dalam sebuah sistem ekonomi. Persoalan kemiskinan individu tidak lagi menjadi persoalan bagi negara karena hal tersebut adalah hal lumrah dalam kompetisi: pasti ada yang tidak mampu bertarung dalam kompetisi dan yang tidak mampu inilah yang menjadi MISKIN.

[15] Lihat Ari Yurino, Op.cit. Salah satu ide John Locke adalah manusia memiliki hak untuk hidup, merdeka, sejahtera, bebas bekerja, bebas mengambil keputusan, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun, bebas tanpa tempat tinggal, bebas hidup tanpa pekerjaan.

[16] B. Herry Priyono, Op.Cit..

[17AriYurino,“TentangNeoliberalisme,”dalamhttp://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=410

[18]  Ibid., Ari Yurino

[19]  Ibid., Ari Yurino

[20] Lihat Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 37-49. Perlu dibaca juga Bob Sugeng Hadiwinata, Op.Cit., hlm. 471-483.

[21]  Lihat Farid Gaban, “Inti Pandangan Neoliberalisme,” dalam http: //bagusalfa.blogspot.com/2006/12/inti-pandangan-neoliberalisme.html.

[22] Bagian ini dirangkum dari http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme

[23] Lihat Bob Sugeng Hadiwinata, Op.Cit., hlm. 471-483. Lihat juga Ari Yurino, Op. Cit.

[24] Bagian ini, lebih banyak merujuk pada uraian Ignatius Wibowo, “Akhir Neoliberalisme Sachs?,” dalam http: www.kompas.com/kompas-cetak/o50/opini/214671.html. Tidak hanya Sachs yang melancarkan kritik tajam terhadap neoliberalisme. Pierre Bourdieu juga melancarkan kritik pedas bahwa neoliberalisme membuat orang miskin semakin miskin. Dalam paham neoliberalisme, orang miskin tidak pernah bisa menikmati keadilan ekonomi (fairness). Lihat Bob Sugeng Hadiwinata, Op.Cit., hlm. 475.

[25] Lihat John Rawls, Teori Keadilan, Op.Cit., hlm. 3-22.

[26]  Sachs menuntut bantuan dari negara kaya sebesar 135 miliar dollas AS (2006) dan tahun 2015 harus naik menjadi 195 dollar AS (untuk sampai pada target Millenium Development Goals)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar