Oleh agus winarto[1]
Pengantar
Zaman ini zaman edan.
Zaman yang gila-gilaan. Ada berbagai macam cara untuk menindas sesama manusia.
Tidak hanya melalui kekerasan langsung, kadangkala melalui tindakan yang nyaris
tak kelihatan. Sistem ekonomi dibuat sedemikian rupa agar kaum tak bermodal dan
negara-negara berkembang hanya gigit jari. Negara kaya berusaha nyaris bak
malaikat membuat sistem ekonomi yang sejatinya mengandung penjajahan
tersembunyi. Itulah kolonialisme baru yang sedang menghantam negara-negara
berkembang.
Era kiwari adalah era globalisasi penuh tawaran mengagumkan
sekaligus gombal dan manipulasi. Globalisasi menawarkan kemudahan aksesbilitas
sekaligus jurang yang menghancurkan. Globalisasi setali mata uang dengan
neoliberalisme. Dampaknya sangat fatal. Seraya mengutip Pierre Bourdieu, Bob
Sugeng Hadiwinata memaparkan bencana yang ditimbulkan globalisasi yang
mengandung gagasan neoliberalisme. Pertama, fatalisme ekonomi: masyarakat
membiarkan diri terseret arus globalisasi. Kedua, penghancuran konsep negara
kesejahteraan akibat gelombang privatisasi. Ketiga, melebarnya kesenjangan
kaya-miskin. Keempat, privatisasi pendidikan dan kesehatan cenderung
meningkatkan biaya sehingga mendiskriminasikan kaum miskin. Kelima, terjadinya
kerusakan lingkungan karena eksploitasi yang berlebihan. Keenam,
institusionalisasi rasa tidak aman bagi kaum pekerja akibat dominasi sektor
bisnis. [2]
Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda
ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui
paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif
menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan
1997. Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara
resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. IMF adalah aktor
neoliberalisme. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan
IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus
Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu
butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang
sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell.
Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, di antaranya Indosat,
Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.[3]
Dalam tulisan ini, saya ingin menampilkan bahwa perlu
mewaspadai prinsip ekonomi a la neoliberalisme yang telah menjadi standar
kebijakan ekonomi “Barat” yang diam-diam diterapkan kepada negara-negara
berkembang. Ada banyak kaum intelektual negara-negara berkembang yang
mengagumkannya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka ini adalah perpanjangan
tangan “Barat” untuk menerapkan paham neoliberalisme di negara mereka
masing-masing. Prinsip neoliberalisme seolah-olah mencerahkan tetapi sebenarnya
tidak. Untuk konteks Indonesia, menganggap benar prinsip neoliberalisme sama
halnya mengatakan bahwa manusia tak mati jika minum racun. Inilah sikap bodoh
yang menggali kubur sendiri. Neoliberalisme tidak mau peduli dengan nasib kaum
miskin. Neoliberalisme hanya mempedulikan berjalannya mekanisme dan persaingan
pasar. Mereka tidak mau peduli siapa yang akan babak belur di atas arena
pertarungan pasar itu.
Neliberalisme: Rahmat atau Petaka?
Neoliberalisme adalah kata lain dari “liberalisme baru”.
Neoliberalisme merupakan pendukung pasar bebas (free trade), ekspansi modal dan
globalisasi.[4] Yang mencemaskan dari neoliberalisme adalah gebrakan mereka
agar negara mengurangi secara signifikan campur tangannya (deregulasi dan
debirokratisasi) dalam aktivitas ekonomi masyarakat. Aktivitas ekonomi
diserahkan kepada mekanisme pasar, karena pasar mengajarkan orang untuk
berpikir rasional dengan menggunakan kalkulasi untung-rugi.[5] Di sinilah
terjadi bahwa neoliberalisme merupakan rahmat bagi kaum kaya dan petaka bagi yang miskin. Kita tahu, tidak
mungkin kaum miskin mampu menandingi kaum kaya dalam arena persaingan. Kaum
miskin sudah pasti pihak yang kalah dan kaum kaya sudah pasti pihak yang
menang. Tidak terjadi persaingan, yang terjadi adalah pengeliminasian kaum
miskin.
Bagi pelaku neoliberalisme, yang tidak mampu bersaing secara
bebas di lapangan pasar, maka harus merelakan diri untuk digusur dari ajang
kompetisi. Akibat fatalnya, perekonomian akan dikuasai oleh mereka yang mampu
berperilaku efisien, inovatif, memiliki akses teknologi dan modal, dan mampu
berperan sebagai penentu harga. Sementara orang miskin hanya gigit jari, mereka
siap-siap semakin miskin. Orang miskin hanya sebagai penonton, pemanggul
petaka, buruh murahan, manusia terbuang, outcast! Itu sebabnya bagi Bob Sugeng
Hadiwinata dengan merujuk pada gagasan Bourdieu, neoliberalisme melanggar
prinsip keadilan (fairness). Bob mengusulkan sistem perekonomian yang lebih
baik, yakni perdangan yang adil (fair
trade). Dalam arti, para pelaku pasar
tidak hanya memperhatikan keuntungannya tetapi juga peka melihat situasi
sosial, mereka perlu memperhatikan negara berkembang dan kaum miskin, kaum
buruh, kaum marginal. Yang lebih penting bukan gagasan ‘free trade’ tetapi
‘fair trade’. [6]
Mekanisme pasar yang ditawarkan kaum neoliberalisme
melanggar prinsip keadilan dari John Rawls. Bagi Rawls, dalam kegiatan
sosial-ekonomi mesti diperhatikan pula kesejahteraan mereka yang mendapat
keuntungan paling sedikit (“the least-advantaged members of society”). Ketika
membuka kesempatan yang sama kepada anggota masyarakat untuk bersaing di pasar,
pelaku ekonomi mestinya memperhatikan siapa yang sudah pasti kalah bersaing.
Orang tak punya modal pastilah kalah dalam arena persaingan pasar. Di sini
tidak terjadi fairness (keadilan). Fairness hanya terjadi jika memperhatikan
kaum tak bermodal itu. Bagi Rawls mesti ada prinsip “fair equality of
opportunity” . [7]
B. Herry Priyono melihat secara lain neoliberalisme. Ia
memilah-milah, tidak memandang semua kegiatan ekonomi pasar menerapkan prinsip
neoliberalime. Menurutnya istilah neoliberalisme sering disalah-artikan. Misalnya, ada
sebagian yang menganggap bahwa ekonomi pasar identik dengan neoliberalisme.
Bagi B. Herry Priyono, neoliberalisme memang melibatkan aplikasi ekonomi pasar,
tetapi tidak semua ekonomi pasar bersifat neoliberal. Ekonomi pasar sosial
tidak selalu bersifat neoliberal.[8]
Awalan neo (baru)
pada istilah neoliberalisme menunjuk pada gejala yang mirip dengan tata ekonomi
30 tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20, yang ditandai dominasi financial capital dalam proses
ekonomi. Namun, yang terjadi dalam 30 tahun terakhir tersebut (akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20) bercorak lebih ekstrem dan gejala ini berlangsung dengan
berakhirnya era besar yang disebut embedded lberalism. Embedded liberalisme
merupakan model ekonomi setelah Perang Dunia II hingga dekade 1970-an yang
intinya: kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat
relasi antara penanam modal dan tenaga kerja tidak selalu berakhir dengan
subordinasi labour pada capital.[9] Dengan kata lain, neoliberalisme berisi
kecenderungan lepasnya kinerja pemodal dari kawalan, tetapi dalam bentuk yang
lebih ekstrem. Neoliberalisme kadangkala dianggap sebagai cara para tuan besar
pemodal untuk merebut kembali kekuasaan, sesudah mereka terkekang dalam periode
setelah Perang Dunia II sampai dasawarsa 1970-an.
Neoliberalisme merupakan sebuah fenomena sosial-politik yang
biasanya dialamatkan kepada sekelompok penguasa dan intelektual di Barat yang
mendukung dan ingin menghidupkan kembali gagasan-gagasan liberalisme
klasik. Intelektual yang mau
menghidupkan kembali liberalisme klasik (tetapi dengan cara “mencampur”) adalah
ekonom Inggris (abad 20), John Maynard Keynes, yang kemudian teorinya disebut
Keynesian. Teori ekonomi a la Keynesian adalah mempromosikan suatu ekonomi
campuran, yakni baik negara (pemerintah) maupun sektor swasta memegang peranan penting
dalam kegiatan ekonomi. Padahal, kaum neoliberalisme anti-pemerintah,
antinegara, anti aturan. Tetapi ada yang mesti diperhatikan di sini:
REAGANOMICS dan Thatcherisme juga sebenarnya beralirasn leberalisme klasik,
tetapi toh tidak dianggap sebagai ancaman neoliberalisme. Malahan kedua paham ini dianggap sebagai
salah satu tulang punggung munculnya neoliberalisme, karena memang kedua paham
ini anti-negara, anti-pemerintah. Itulah sebabya juga B. Herry Priyono agak
kesulitan mendefenisikan apa itu neoliberalisme. [10] Dalam tulisan ini, kita
sepakat saja bahwa ciri utama neoliberalisme adalah peniadaan campur tangan
pemerintah dalam aktivitas ekonomi. Dengan demikian, regulasi perekonomian
diserahkan kepada otoritas pasar bebas. Akibatnya, legislator bukan lagi
lembaga legislatif melainkan para pemilik modal.
Dalam penelusuran Bob Sugeng Hadiwinata, neoliberalisme
sejatinya dikampanyekan secara gencar oleh negara-negara Barat dan berbagai
lembaga ekonomi dan keuangan internasional sejak akhir Perang Dunia II.
Kampanye gombal mereka berhasil: neoliberalisme menjadi norma dasar
perekonomian.[11]
Latar Belakang
Munculnya Neoliberalisme [12]
Ada klaim bahwa awal munculnya neoliberalisme
dilatar-belakangi oleh hancurnya “liberalisme”. Padahal bisa jadi hal ini hanya
salah satu faktor saja. Liberalisme dianggap gagal karena ternyata belum juga
berhasil mengentaskan kemiskinan umat manusia. Seiring dengan hancurnya
liberalisme, pada tahun 1973 terjadi krisis minyak: mayoritas negara penghasil
minyak Timur Tengah (TT) melakukan embargo terhadap As dan sekutunya; serta
melipat-gandakan harga minyak dunia. Hal ini dilakukan oleh TT sebagai bukti
“reaksi” mereka terhadap AS yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur.[13]
Keputusan TT ini ditanggapi serius oleh para elit politik negara-negara sekutu
AS dan mereka pun saling berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan
ekonomi, beban bisnis, beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas
negara untuk rakyatnya). Pada situasi inilah ide-ide libertarian sebagai wacana
menjadi dominan, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga ditingkat global
di IMF dan World Bank (WB), dan WTO.
Banyak yang menduga bahwa IMF, World Bank dan WTO adalah pendukung
neoliberalisme. Kedua lembaga ini merupakan penyebab suburnya neoliberalisme.
Lembaga-lembaga ini memiliki kesempatan besar untuk memaksa negara-negara
berkembang (miskin) untuk mengambil dan menjalankan kebijakan neoliberalisme
dalam tataran pasar bebas dengan istilah kren demi “structural adjustment” (penyesuaian
struktural). Ujung-ujungnya adalah banyak negara berkembang yang justru semakin
banyak hutangnya.
Pada tahun 1975-80an, di AS, Robert Nozick mengeluarkan
tulisan berjudul “Anarchy, State, and Utopia”, yang dengan cerdas menyatakan
kembali posisi kaum ultra minimalis, ultra libertarian sebagai retorika dari
lembaga pengkajian universitas, yang kemudian disebut dengan istilah:
REAGANOMICS; dan di Inggris, Keith Joseph menjadi penggagas “Thatcherisme”.[14]
Reaganomics atau Reaganisme menyebarkan retorika kebebasan
yang dikaitkan dengan pemikiran John Locke[15], sedangkan Thatcherisme
dikaitkan dengan pemikiran liberal John S. Mill dan A. Smith. Walaupun Locke
dan Mill serta Smith sedikit berbeda, tetapi kesimpulan akhirnya tetap bermuara
pada intervensi negara harus berkurang sehingga individu lebih bebas berusaha.
Pemahaman inilah yang kemudian di sebut: NEOLIBERALISME.
Paham ekonomi neoliberal ini, di kemudian hari dikembangkan
oleh Milton Friedman. Menurut Milton Friedman, prinsip utama bisnis ekonomi
adalah mencari keuntungan. Menurutnya, tugas dari pebisnis adalah mencari
uang/keuntungan (“the business/task of businessman is business/making money”).
Hanya dengan cara ini, suatu perusahaan akan bertahan dan bisa menghidupi para
karyawannya serta CEO-nya. Tetapi, gagasan ini, kemudian banyak ditentang,
karena bisnis tidak semata-mata hanya mencari keuntungan tetapi juga memiliki
tanggung jawab sosial: memelihara sumber daya alam dan juga memperhatikan
lingkungan sosial bisnis, serta ikut andil mengentaskan pengangguran serta
kemiskinan.
Visi Neoliberalisme
Walaupun
neoliberalisme selalu dikaitkan dengan ekonomi, namun sebenarnya neoliberalisme
bukan hanya sekedar ekonomi. Neoliberalisme bervisi tentang manusia dan
masyarakat dengan cara pikir ekonomi yang khas sebagai perangkat utama. Visi
neoliberalisme tersebut dapat kita lihat dalam uraian berikut:
Pertama, Visi
Antropologis [16]
Neoliberalisme berkembang melalui reduksi manusia sebagai
makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Yang menarik dari visi neoliberal adalah
pengandaian manusia sebagai homo oeconomicus direntang luas untuk diterapkan
pada semua dimensi hidup manusia: menjadi prinsip pengorganisasian seluruh
masyarakat. Hal itu secara eksplisit diungkapkan Gary Becker dalam karyanya yang
berjudul “The Economic Approach to Human Behavior (1976): pendekatan ekonomi
menyediakan kerangka semesta untuk memahami semua tingkah laku manusia.
Kedua, virtualisasi Ekonomi
Awal tahun 1980-an terjadi evolusi berpikir: perspektif
oeconomicus tidak hanya direntang untuk diterapkan pada dimensi hidup manusia,
tetapi dalam perspektif oeconomicus sendiri berkembang hierarkhi prioritas:
sektor finansial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi.
Hasilnya adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, dsb.
Tren ini lalu mempertajam pembedaan antara sektor virtual dan sektor riil dalam
ekonomi dengan prioritas yang pertama. Jadi, proses ekonomi bergerak dengan
prioritas transaksi uang ketimbang produksi barang/jasa riil.
Gagasan Filosofis (Konsep) Neoliberalisme
Pertama, menginginkan sistem ekonomi yang sama dengan
kapitalisme abad ke-19
Kapitalisme abad ke-19 menghargai kebebasan individu
berjalan sepenuhnya dan campur tangan pemerintah sangat sedikit dalam urusan
kehidupan ekonomi. Yang menjadi penentu utama dalam kehidupan ekonomi adalah
mekanisme pasar bukan pemerintah.[17] Gagasan ini barangkali masih dipengaruhi
oleh gagasan John Locke (abad 18) yang mengatakan bahwa kaum liberal adalah
orang-orang yang memiliki hak untuk hidup, merdeka, sejahtera, bebas bekerja,
bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun. Pada
zaman kapitalisme abad ke-19 ini, orang bebas diartikan sebagai seseorang yang
memiliki hak-hak dan mampu menggunakannya dengan memperkecil campur tangan
pihak lain (aturan pihak lain): kita berhak menjalankan kehidupan sendiri.[18]
Kedua, mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas:
pasar yang berkuasa
Untuk mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas,
kaum neoliberalisme selalu mengusung “kebebasan” dan tidak adanya hambatan
buatan yang diterapkan pemerintah. Oleh karena itu, perdagangan bebas adalah
sebuah konsep ekonomi yang mengacu pada penjualan produk antar negara tanpa
pajak ekspor-impor atau tanpa hambatan perdagangan lainnya (tanpa regulasi
legal). Bentuk-bentuk hambatan perdagangan yang ditolak kaum neoliberalisme
(dalam perdagangan bebas): bea cukai, kuota, subsidi yang dihasilkan dari pajak
sebagai bantuan pemerintah untuk produsen lokal, peraturan administrasi dan
peraturan anti-dumping. Menurut kaum neoliberalisme pihak yang diuntungkan dari
adanya hambatan perdagangan adalah produsen dan pemerintah.[19]
Ketiga, menolak (mengurangi) campur tangan pemerintah dalam
ekonomi domestik
Gagasan ini terfokus pada metode pasar bebas, pembatasan
campur tangan pemerintah yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak
milik pribadi. Gagasan ini sebenarnya tidak sehat. Kaum kaya semakin kaya dan
kaum miskin semakin miskin. Seharusnya yang lebih penting adalah keadilan
perdagangan (fair trade) bukan perdagangan bebas (free trade).[20]
Keempat, memangkas anggaran publik untuk layanan sosial
Kurangi anggaran sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan
air bersih, karena semuanya itu adalah bantuan dari pemerintah. Seandainya hal
ini berkurang berarti peran pemerintah juga berkurang. Kelima, deregulasi:
hambatan dan hukum perdagangan harus dihapus. Keenam, privatisasi: aktivitas
ekonomi harus dikelola oleh swasta (non-pemerintah). Ketujuh, mengenyahkan
konsep “the public good”: mengurangi tanggung jawab bersama dan menggantikannya
dengan “kewajiban individu”.[21]
Liberalisme dan
Neoliberalisme[22]
a. Perbedaan
Liberalisme
manusia dianggap sebagai: homo oeconomicus;
manusia adalah otonom, bebas memilih;
wacana politik: sosial demokrat dengan argumen,
“kesejahteraan”;
Meletakkan kebebasan sebagai nilai politik tertinggi;
Masih mengakui peran kerajaan/pemerintah. Dalam arti sistem
kerajaan harus melindungi hak-hak semua rakyat secara adil, bijak dan seksama;
Masih mengakui undang-undang kerajaan (pemerintah). Artinya
semua rakyat mempunyai hak-hak yang sama rata di depan hukum dan undang-undang;
Menghendaki peran serta kerajaan dalam pasar bebas. Menjaga
agar tidak terjadi diskriminasi, pemerikasaan barang-barang impor-ekspor harus
dilakukan secara hikmat.
Neoliberalisme
homo oeconomicus dijadikan prinsip untuk memahami semua
“tingkah laku manusia”;
hal ini dimodifikasi ke arah yang lebih ekstrem: tidak perlu
adanya campur tangan pemerintah, batas negara diterobos;
wacana politik: sosial ekonomis kapitalis dengan argumen
“privatisasi aktivitas ekonomi”;
Meletakkan kebebasan dalam tataran ekonomi, pasar bebas,
globalisme;
Lebih ekstrem: sama sekali menolak campur tangan pemerintah,
bahkan mereka menghendaki segala macam fasilitas umum seharusnya di
swastanisasikan/diprivatisasikan;
Sistem aturan, undang-undang/hukum, ditolak sama sekali,
karena hal ini akan menguntungkan pemerintah dan stakeholders lainnya;
Tidak menghendaki peran pemerintah dalam pasar bebas.
Sehingga peluang akan adanya diskriminasi “terselubung” sangat tinggi (yang
kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin).
b. Persamaan
sama-sama mengutamakan hak-hak individu/pribadi;
sama-sama menghendaki dibatasinya kekuasaan pemerintah/kerajaan,
kedaulatan undang-undang ;
kebebaasan untuk menjalankan perusahaan pribadi tanpa adanya
aturan;
administratif yang menghambat aktivitas individu dalam
mensejahterakan dirinya.
sama-sama menolak kekuasaan yang otoriter yang mengekang
individu;
Desentralisasi;
dst.
Dampak neoliberalisme [23]
Pertama, Industri lokal akan mati. Hambatan perdagangan
dibuat dengan tujuan antara lain untuk melindungi industri dan tenaga kerja
lokal. Dengan ditiadakannya hambatan perdagangan (deregulasi), maka harga produk
dan jasa dari luar negeri akan menurun dan permintaan untuk produk dan jasa
lokal akan berkurang. Hal ini mengakibatkan matinya industri lokal
perlahan-lahan.
Kedua, Pekerja (karyawan) tidak mendapat perlindungan dari
negara. Dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur
tangan dalam penentuan gaji para pekerja (karyawan). Menurut kaum neoliberal,
hal ini merupakan urusan antara pengusaha pemilik modal dan para pekerja
(karyawan). Apa akibat dari kebijakan semacam ini? Akibatnya adalah hak-hak
pekerja tidak lagi mendapatkan perlindungan dari negara. Pengaturan upah,
misalnya, sepenuhnya menjadi kewenangan pengusaha. Masalahnya, apakah pengusaha
tidak menindas atau memberi gaji yang layak para pekerja?
Ketiga, Privatisasi aktivitas ekonomi . Privatisasi (istilah
lain: denasionalisasi, swastanisasi) adalah proses pengalihan kepemilikan dari
milik umum menjadi milik pribadi atau dari milik negara menjadi milik swasta .
Dalam arti aktivitas ekonomi harus dikelola oleh swasta. Secara teori,
privatisasi aktivitas ekonomi, membantu terbentuknya pasar bebas
(neoliberalisme), mengembangkan kompetisi kapitalis (padahal yang lebih penting
adalah coopetetition dan fair trade), yang oleh para pendukungnya dianggap akan
memberikan harga lebih kompetitif kepada publik. Tetapi teori semacam ini
berakibat negatif, karena layanan publik diberikan ke sektor privat (swasta)
yang justru akan menghilangkan kontrol publik dan pemerintah sehingga
mengakibatkan kualitas layanan yang buruk.
Keempat, Konsumen tak terlindungi dari produk-produk yang
tak layak dikonsumsi. Contoh: produk-produk yang telah diubah secara
genetika.Bisa terjadi pemalsuan produk. Kelima, Bergesernya manajemen ekonomi.
Ekonomi berbasis persediaan menjadi berbasis permintaan. Artinya negara
berkembang yang tadinya kaya akan SDM, sekarang malah menjadi tidak menikmati
SDM tersebut karena telah “dirampas dan dikuasai”oleh pemodal. Negara
berkembang menjadi negara pengemis atas hasil tanahnya sendiri. Perekonomian
dengan inflasi dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi
tinggi dengan pengangguran rendah; karena bagi neoliberalisme, penganggur
adalah orang-orang yang kalah dalam persaingan.
Keenam, Masalah ekonomi adalah soal “komoditi”. Kaum
neoliberalisme melihat bahwa seluruh kehidupan adalah sumber laba korporasi
perusahaan. Contoh: air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya pun
harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Jadi, dimensi
sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas
semata.
Ketujuh, Semua pemikiran di luar rel pasar dianggap salah.
Salah satu kelebihan neoliberalisme adalah menawarkan pemikiran politik yang
sederhana, sehingga pada titik tertentu tidak lagi mempunyai makna selain apa
yang dilakukan oleh pasar dan pengusaha. Bagi kaum neoliberalisme, politik
adalah keputusan-keptusan yang menawarkan nilai-nilai dan hanya satu cara yang
rasional untuk mengukur nilai yakni pasar. Selain itu, wilayah politik dianggap
sebagai tempat pasar berkuasa dan konsep globalisasi (perdagangan bebas)
dijadikan cara untuk perluasan pasar melaui WTO, sehingga neoliberalisme yang
“kapitalisme” dianggap sebagai neo-imperialisme. Kedelapan, Semakin lebar
jurang antara si kaya dan si miskin.
Kritik terhadap Neoliberalisme[24]
Neoliberalisme dianggap sebagai globalisme yang tak
bertanggungjawab terjadap nasib rakyat jelata, rakyat miskin. Neoliberalisme
adalah neo-imperialisme, neo-kolonialisme. Mengapa? Karena justru
neoliberalisme inilah yang membuka kesempatan bagi kaum kaya untuk
mengeksploitasi negara-negara berkembang secara “halus” namun sangat menyayat.
Hasil kebijakan IMF misalnya justru memperkeruh situasi Indonesia dengan
menenggelamkan Indonesia dalam suasana hutang luar biasa. Itu tidak lain adalah
hasil desain IMF yang notebene salah satu lembaga aktor neoliberalisme yang
berada di belakang meja. Neoliberalisme tidak menghadirkan keadilan dalam
masyarakat. Yang timbul hanyalah kesenjangan sosial. Bagi Rawls, kesenjangan
sosial kaya-miskin itu bisa diatasi jika selalu berpedoman pada keadilan
sebagai “fairness.” Dalam arti, yang lebih penting adalah “fair trade”
(perdagangan yang adil) dan bukan “free trade” (perdagangan bebas). Dalam “fair
trade”, pelaku ekonomi perlu “menolong” mereka yang tak punya modal sehingga
mereka juga menikmati keuntungan demi memenuhi kebutuhan hidup mereka sebagai
manusia.[25]
Ignatius Wibowo mencermati gelombang neoliberalisme yang
semakin ekstrem. Seiring mencermati, beliau juga mencoba melihat tokoh yang mau
menyempurnakan neoliberalisme menjadi lebih “manusiawi”. Tokoh yang ia anggap
relevan sebagai pengkritik neoliberalisme (demi kesempurnaan) adalah Jeffrey
Sachs yang menulis buku: The End of Proverty (2005). Setelah I. Wibowo
meneropong buku tersebut ternyata fokus Sachs adalah orang-orang miskin yang
selama ini “dibiarkan” oleh kaum neoliberalisme. Menurut Sachs, penyebab
kemiskinan adalah karena tiadanya: human capital (SDM), bussiness capital,
infrastructure, natural capital (SDA), public institutional capital, dan
knowledge capital. Untuk keluar dari kemiskinan tidak mungkin dilakukan hanya
karena kekuatan sendiri dan orang menjadi miskin bukan semata-mata karena gagal
dalam pasar global. Konsep ini bertolak belakang dengan gagasan neoliberalisme.
Jalan keluar yang ditawarkan oleh Sachs agar orang miskin
dapat keluar dari kemiskinannya adalah dengan menggunakan model “clinical
economics”. Artinya, penyebab kemiskinan harus dilihat dari berbagai faktor:
penyakit, cuaca buruk, lingkungan yang hancur, isolasi fisik, dll. Setelah
dideteksi semua “penyebab” kemiskinan ini, barulah dicek mana yang lebih urgen
ditangani (diobati). Dari perspektif semacam ini, tentu untuk mengatasi
kemiskinan tidaklah mungkin hanya memakai satu obat saja berupa pasar bebas
(yang bersifat deregulasi). Kemiskinan hanya bisa diatasi jika ditangani secara
langsung, memberi bantuan langsung. Ide Sachs ini tidak dapat disimpulkan
sebagai ide yang justru menciptakan ketergantungan. Ia memang sangat setuju
bahwa lebih baik memberi kail daripada memberi ikan. Hanya saja ia juga
mengoreksi pola pikir semacam ini: bagaimana orang miskin bisa memancing jika
mereka lapar. Berilah mereka makan agar mereka bisa berdiri memancing. Orang
miskin harus dibantu untuk menjejakkan kaki (to jump start).
Itu sebabnya Sachs selalu menuntut agar negara-negara maju
dan kaya menyediakan bantuan untuk membantu negara-negara miskin.[26] Hanya
saja bantuan yang dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan harus jelas.
Bantuan yang dibagikan kepada sektor publik itu diarahkan untuk: 1) modal
manusia/human capital (kesehatan, pendidikan dan nutrisi); 2) infrastruktur
(jalan, listrik, air, dan sanitas serta perlindungan lingkungan; 3) natural
capital/modal alami (pemeliharaan keragaman hayati serta ekosistem; 4) modal
lembaga publik (administrasi publik yang dikelola baik, sistem penhadilan dan
polisi) dan 5) modal pengetahuan (penelitian ilmiah untuk kesehatan, energi,
pertanian, cuaca, dan ekologi).
Pendeknya, sektor publik harus tetap ada untuk menjalankan
kegiatan yang terfokus pada investasi untuk sekolah, klinik, jalan, riset.
Dengan pola pikir semacam ini, Sachs mengkritik dan juga keluar dari jalur
neoliberal yang sangat anti pada negara. Sachs tidak menyerahkan urusan
pengentasan kemiskinan hanya kepada invisible hand atau sistem pasar. Anehnya,
Sachs tidak anti-neoliberalisme (tidak antiglobalisasi) karena baginya
globalisasi (dan neoliberalisme) sudah bagus, namun yang perlu dibenahi adalah
kebijakan publik negara-negara juga campur tangan pemerintah perlu (jangan ditiadakan,
sektor publik perlu jangan hanya sektor privat).
Catatan Kaki:
[1] Postinus Gulö, adalah lulusan sarjana filsafat (S-1) di
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung; sekarang mahasiswa Magister Ilmu
Teologi (S-2) di Universitas Katolik Parahyangan. Tulisan ini terakhir direvisi
tanggal 9 Juni 2010. Tulisan ini pertama
kali dipublikasikan 4 Maret 2008 di blog
ini.
[2] Lihat Bob Sugeng Hadiwinata, “Bourdieu, Neoliberalisme,
Intelektual dan Gerakan Sosial Global” dalam MELINTAS , Volume 22 No. 1, April
2006-Juli 2006, hlm. 475.
[3] www.wikipedia.com, diakses 2 April 2010.
[4] Lihat tulisan Luthfi Assyaukanie tentang Fundamentalisme
dan Neoliberalisme dalam situs:
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1141.
[5] Bob Sugeng Hadiwinata, Op. Cit., hlm. 475.
[6] Bob Sugeng Hadiwinata, Ibid., hlm. 475-481. Perlu dibaca
juga John Rawls, Teori Keadilan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 12-24
dan hlm. 334-374.
[7] John Rawls, Justice As Fairness: A Restatement (London:
Harvard University Press, 2001), hlm. 42-45.
[8] Lihat B. Herry Priyono, Neoliberalisme, http:
//www.duniaesai.com/filsafat/Fil44.htm.
[9] B. Herry Priyono, Ibid.
[10] Ibid.
[11] Lihat Bob Sugeng Hadiwinata, Op.Cit., hlm. 475.
[12] Lihat Ari Yurino dalam situs
http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=410
[13] Bdk. www.wikipedia.neoliberalisme.com, diakses 28 Maret
2010. Perang Yom Kippur dikenal dengan nama Perang Ramadhan atau Perang
Oktober, karena perang ini terjadi pada 6-26 Oktober 1973 antara pasukan Israel
melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah. Perang
ini merupakan kelanjutan dari perang enam hari yang terjadi pada tahun 1967
antara Israel melawan gabungan tiga negara Arab (Mesir, Yordania dan Suriah).
Ketiga negara ini mendapat bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan,
dan Aljazair. Pemicu perang ini adalah “ketidakpuasan” orang Arab atas
kekalahannya dalam Perang Arab-Israel pada tahun 1948 dan 1957. Arab tetap
tidak mengakui keberadaan Israel dan Arab menyerukan penghancuran negara
Yahudi.
[14] Reaganomics diambil dari nama Ronald Reagan (AS),
sedangkan Thactherisme diambil dari nama Margaret Thatcher (Inggris). Mereka
adalah pemimpin negara maju yang menjadi pengkut neoliberalisme. Mereka
mempropagandakan kebebasan individu dan kompetisi yang bebas dimplementasikan
dan disebarluaskan dalam sebuah sistem ekonomi. Persoalan kemiskinan individu
tidak lagi menjadi persoalan bagi negara karena hal tersebut adalah hal lumrah
dalam kompetisi: pasti ada yang tidak mampu bertarung dalam kompetisi dan yang
tidak mampu inilah yang menjadi MISKIN.
[15] Lihat Ari Yurino, Op.cit. Salah satu ide John Locke
adalah manusia memiliki hak untuk hidup, merdeka, sejahtera, bebas bekerja,
bebas mengambil keputusan, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil
keuntungan apapun, bebas tanpa tempat tinggal, bebas hidup tanpa pekerjaan.
[16] B. Herry Priyono, Op.Cit..
[17AriYurino,“TentangNeoliberalisme,”dalamhttp://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=410
[18] Ibid., Ari
Yurino
[19] Ibid., Ari
Yurino
[20] Lihat Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi: Telaah
Filsafat Politik John Rawls (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 37-49. Perlu
dibaca juga Bob Sugeng Hadiwinata, Op.Cit., hlm. 471-483.
[21] Lihat Farid
Gaban, “Inti Pandangan Neoliberalisme,” dalam http:
//bagusalfa.blogspot.com/2006/12/inti-pandangan-neoliberalisme.html.
[22] Bagian ini dirangkum dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme
[23] Lihat Bob Sugeng Hadiwinata, Op.Cit., hlm. 471-483.
Lihat juga Ari Yurino, Op. Cit.
[24] Bagian ini, lebih banyak merujuk pada uraian Ignatius
Wibowo, “Akhir Neoliberalisme Sachs?,” dalam http:
www.kompas.com/kompas-cetak/o50/opini/214671.html. Tidak hanya Sachs yang
melancarkan kritik tajam terhadap neoliberalisme. Pierre Bourdieu juga
melancarkan kritik pedas bahwa neoliberalisme membuat orang miskin semakin
miskin. Dalam paham neoliberalisme, orang miskin tidak pernah bisa menikmati
keadilan ekonomi (fairness). Lihat Bob Sugeng Hadiwinata, Op.Cit., hlm. 475.
[25] Lihat John Rawls, Teori Keadilan, Op.Cit., hlm. 3-22.
[26] Sachs menuntut
bantuan dari negara kaya sebesar 135 miliar dollas AS (2006) dan tahun 2015
harus naik menjadi 195 dollar AS (untuk sampai pada target Millenium
Development Goals)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar