Selasa, 05 Februari 2013

Kebudayaan Roh Keistimewaan Yogyakarta


YOGYA (KRjogja.com) – Kebudayaan menjadi roh dari lima aspek keistimewaan DIY, yaitu mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dengan penetapan di DPRD, kelembagaan pemerintah, bidang pertanahan, kebudayaan dan tata ruang. Keistimewaan DIY ibaratnya membangun peradaban baru di atas fondasi lama yang dibawa oleh para leluhur, sehingga perlu dijaga keseimbangannya.

Demikian yang tersirat dalam diskusi terbatas ‘Strategi Pembangunan Kebudayaan untuk Implementasi UUK DIY’ yang diselenggarakan oleh anggota DPD RI Cholid Mahmud ST MT di Wisma MM UGM, Sabtu (26/1). Penyelenggara diskusi Cholid Mahmud sendiri yang sedianya memandu diskusi berhalangan hadir karena sakit sehingga sejak Senin sore harus istirahat mengalami penurunan fungsi ginjal.

Diskusi menghadirkan pembicara Kepala Bappeda DIY Drs H Tavip Agus Rayanto MSi, Pengageng II Tepas Dwarapura Kraton Ngayogyakarta KRT Jatiningrat dan Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM Dr Aprinus Salam MHum. Dihadiri antara lain, Kepala Dinas Kebudayaan DIY GBPH Yudaningrat, GBPH Prabukusumo, Dirut KR dr Gun Nugroho Samawi, Komisaris Utama KR Drs HM Romli dan undangan lainnya.

Dikatakan Tavip Agus Rayanto, dari keistimewaan DIY yang berbeda urusan ferifikasi kebudayaan ke Kemendikbud itu terlalu sempit, karena kebudayaan juga terkait  pertanian, kelautan dan menyangkut semua aspek kehidupan sampai teknologi. “Jadi kebudayaan jangan hanya dimaknai sebagai seni dan budaya, tetapi lebih dari itu, kebudayaan sebagai payung dari lima aspek keistimewaan,” kata Tavip.

KRT Jatiningrat atau Romo Tirun menyebutkan, kebudayaan sebagai salah satu aspek keistimewaan DIY harus mampu pembentuk manusia utama, sehingga akan mempunyai idealisme, komitmen yang tinggi, integritas moral, nurani yang bersih. Dalam kondisi seperti saat ini semua sudah terkontaminasi kepentingan-kepentingan politik, maka dengan kebudayaan akan memberikan keseimbangan hidup.

Menurut Aprinus Salam saat ini DIY banyak mengalami perubahan dan keitimewaan DIY masalahnya tidak adanya keseimbangan, budaya lokal tertindas karena pengaruh budaya global yang begitu kuat. Implementasi dari UU Nomor 13/2012 bagaimana menjaga keseimbangan antara perubahan dan mempertahankan nilai-nilai luhur dalam perkembangan peradaban modern yang tidak bisa ditolak.

“Pusat kebudayaan sekarang ini berada di mal, kraton hanya sebagai tontonan, rumah tanpa disadari sudah diintervensi oleh media televisi dengan tayangannya tidak lagi mencerminkan budaya local mapun nasional. Sementara pendidikan belum menjanjikan dan menjadi gerakan kultural, arena jalanan menjadi penyulut konflik dengan membawa kultur masing-masing,” ujar Aprinus Salam.
Sementara itu GBPH Prabukusumo melihat UU Keistimewaan DIY banyak hal-hal yang perlu dicermati kembali, perlu diatur apabila Gubernur dan Wakil Gubernur yang notabene Sri Sultan dan Paku Alam bila berhalangan tetapi siapa yang harus mewakili. Sultan sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakil tentunya yang bisa mewakili saudara-saudara yang lain, sehingga UUK perlu diamandemen.

Dalam menyusun Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) tentang kebudayaan jangan diartikan secara sempit. Pendanaan dari semua kegiatan masyarakat yang sangat beragam ini harus jelas dan yang perlu dijaga jangan sampai ada yang korup. Kraton dan Puro juga perlu mendapat dana yang nantinya akan dikembalikan kepada masyarakat dan Yogyakarta menjadi istimewa karena keberagaman.

sumber: kedaulatan rakyat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar